Tradisi 7 Likur dan Lampu Cangkok di Tanjungpinang, Simbol Cahaya Keberkahan di Ujung Ramadan

Tradisi 7 Likur dan Lampu Cangkok di Tanjungpinang, Simbol Cahaya Keberkahan di Ujung Ramadan
Tradisi 7 Likur dan Lampu Cangkok di Tanjungpinang, merupakan simbol cahaya keberkahan di ujung bulan Ramadan. Dokumentasi Foto: Yusnadi Nazar

kontenfoto.com – Tradisi 7 Likur dan lampu cangkok merupakan simbol cahaya keberkahan di ujung bulan Ramadan. Tradisi ini identik dengan lampu cangkok.

Tradisi 7 Likur dengan menghidupkan lampu cangkok, merupakan tradisi turun temurun yang memiliki nilai dan makna spiritual yang mendalam.

Selain itu, tradisi 7 likur merupakan tradisi masyarakat Melayu terutama di Kepulauan Riau dengan melakukan penyalaan lampu cangkok atau penerangan tradisional.

7 Likur sendiri berasal dari istilah Melayu yang berarti malam ke-27 Ramadan atau malam-malam terakhir Ramadan yang memiliki keutamaan khusus.

Malam ke-27 Ramadan sendiri, berkaitan erat dengan malam Lailatul Qadar yaitu malam-malam di ujung Ramadan yang tentunya penuh dengan kemuliaan.

Untuk menyambut malam istimewa di ujung bulan Ramadan ini, masyarakat Melayu di Kepulauan Riau termasuk di Tanjungpinang, menyalakan lampu cangkok.

Selain sebagai simbol keimanan, penerangan dengan lampu cangkok juga sebagai simbol cahaya keberkahan dan petunjuk dalam kehidupan.

Lampu cangkok yang menyala juga melambangkan cahaya iman di bulan Ramadan dan mengingatkan umat Islam untuk terus berada di jalan yang terang dan lurus.

Melalui cahaya sederhana yang menerangi malam, umat Islam diingatkan untuk terus mencari keberkahan dan berbagi kebahagiaan di bulan suci Ramadan.

Namun, tradisi 7 Likur juga tidak hanya tentang penerangan, namun tentang bagaimana menerangi hati dan memperkuat persaudaraan di tengah masyarakat.

Tidak hanya itu, lampu cangkok juga bukan hanya sekadar tradisi, namun sebagai simbol semangat kebersamaan dan keberkahan di bulan Ramadan.

Melalui pancaran cahaya yang menyala di malam-malam akhir Ramadan, mengingatkan umat Islam  untuk terus bersinar dalam kebaikan.

Warga Sei Ladi Tanjungpinang Menghidupkan Tradisi 7 Likur

Lampu cangkok atau lampu colok dalam tradisi 7 Likur, merupakan lentera sederhana yang terbuat dari kaleng bekas berisi minyak tanah dengan sumbu sebagai pemantik api.

Lampu cangkok ini kemudian diletakkan di sepanjang jalan, luar rumah. Masyarakat bahkan membentuk sususan lampu cangkok menjadi ornamen Islami seperti masjid, kubah masjid atau berbentuk kaligrafi.

Di beberapa kampung di Kepulauan Riau termasuk di Tanjungpinang, pemasangan lampu cangkok menjadi ajang kreativitas dan gotong royong.

Masyarakat berlomba-lomba membuat desain yang indah dan menarik. Semakin besar dan artistik susunan lampu, semakin megah pula suasana akhir Ramadan.

Tradisi 7 Likur dengan pemasangan lampu cangkok juga untuk menjaga warisan budaya masyarakat Melayu yang telah ada sejak masa lalu.

Meskipun zaman telah modern dan listrik telah menjadi sumber penerangan utama, lampu cangkok tetap ada sebagai warisan budaya Melayu yang unik.

Guna menjaga warisan budaya turun temurun ini, warga Sei Ladi Tanjungpinang berinisiatif untuk menyemarakkan kembali tradisi yang menjadi warisan budaya ini.

Warga memasang ribuan lampu cangkok berbentuk ornamen kubah Masjid. Meletakkan lampu cangkok di gang kecil hingga ke rumah warga di Sei Ladi Tanjungpinang.

“Untuk menjaga tradisi ini dan mempercantik kawasan Sei Ladi ini, Kami menyiapkan sebanyak 1001 lampu cangkok,” kata Teddy, Ketua Panitia 1001 Cangkok Sei Ladi Tanjungpinang.

Bahkan, kata Teddy, dua bulan sebelum Ramadan menjelang, warga Sei Ladi telah menyiapkan ribuan lampu cangkok, dua drum minyak tanah dan lima gulung sumbu.

“Alhamdulillah dengan swadaya masyarakat dan bantuan donatur, kami bisa melaksanakan tradisi 7 Likur,” ungkapnya.

Teddy menambahkan, tradisi ini dapat mempererat hubungan silaturahmi antarwarga. Sebab warga bergotong royong mendesain, membuat dan memasang lampu cangkok.

“Tradisi ini juga menjadi ajang silaturahmi dan kebersamaan serta semakin meningkatkan semangat gotong royong antarwarga Sei Ladi,” sebut Teddy.

Tradisi 7 Likur Ditetapkan sebagai WBTB Indonesia dari Kepri

Menurut Peneliti Sejarah BRIN Dedi Arman, tradisi 7 Likur tidak hanya sekedar penyalaan lampu cangkok, namun tersirat berbagai makna.

Selain itu, kata Dedi, juga tersirat kearifan lokal masyarakat Melayu dalam memaknai datangnya malam Lailatul Qadar di akhir bulan suci Ramadan.

Tidak hanya sebagai penerangan di malam hari, lanjut Dedi, lampu cangkok yang terpasang itu juga memiliki makna yang lebih mendalam.

Cahaya-cahaya yang terpancar dari lampu cangkok, sebut Dedi, seakan-akan melambangkan keberkahan dan keindahan di bulan Ramadan.

Oleh karena itu, tradisi 7 Likur dengan penyalaan lampu cangkok, kini telah menjadi bagian dari kekayaan budaya dan spritual Islam yang patut dijaga keberadaannya.

“Tradisi 7 likur sudah ditetapkan menjadi WBTB (Warisan Budaya Tak Benda) Indonesia dari Kepulauan Riau,” ungkap Dedi.

Sejak zaman dahulu, kata Dedi, masyarakat Melayu di Kepulauan Riau, selalu menyambut bulan suci Ramadan dengan berbagai kegiatan.

Salah satunya adalah dengan memeriahkan suasana di malam hari dengan menyalakan berbagai penerangan tradisional yaitu lampu cangkok atau lampu colok.

Tradisi ini, sebut Dedi, juga telah menjadi tradisi turun-temurun sejak zaman dahulu dan merupakan salah satu wujud rasa kegembiraan atas datangnya Ramadan.

“Tradisi 7 Likur merupakan ungkapan rasa syukur dan suka cita terhadap kedatangan bulan suci Ramadan,” jelasnya.

Meskipun kini zaman telah modern, masyarakat harus tetap melestarikan tradisi ini sebagai warisan budaya yang mempunyai makna yang mendalam.

Tradisi budaya ini juga menyimpan berbagai hal positif yang bermanfaat khususnya dalam memberikan semangat kepada generasi muda.

Dedi mengatakan, dengan adanya tradisi ini, generasi muda dapat memahami mengetahui akar budaya masyarakat Melayu.

“Tradisi 7 Likur telah menghiasi kehidupan masyarakat Melayu Kepulauan Riau sejak masa lalu. Jadi kita patut menjaga dan melestarikan warisan budaya ini,” tutup Dedi. (kontenfoto)

Penulis: Yusnadi Nazar 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *